Ketua Kelas: Sebuah Pembelajaran dari Sekolah Lagi
Muhamad Rezeky
PROJECT “PERJUMPAAN” merupakan kolaborasi 3 penulis sebagai rangkaian peringatan #coexistense day dan #multicultural day.
Setalah 10 tahun paska lulus kuliah dan sudah berkelana ke berbagai tempat juga karir, saya memilih untuk sekolah lagi. Sebuah pilihan yang membuat banyak orang kebingungan, bagaimana Kembali ke Strata 1 lagi di usia 30an? Apa kamu sudah gila? Gitu pandangan banyak orang. Selain biayanya yang mungkin tidak murah, ini juga terjadi di tengah-tengah pandemi Covid 19 yang membuat banyak orang tidak memiliki pekerjaan. Saya pribadi bekerja paruh waktu sekarang, namun tetap saja itu tidak membuat orang bertanya-tanya tentang kemampuan saya kuliah lagi baik secara finansial ataupun juga kadar otak menyerap bahan perkuliahan.
Sebenaranya bukan orang lain saja yang merasa sperti itu, saya pribadi juga mempertanyakan kesanggupan otak saya buat Ujian Tengah Semester (UTS) lagi, kuliah full time 4 tahun dan harus mengerjakan skripsi. Namun tidak ada pilihan bagi saya, ini adalah cara terbaik untuk membantu karir saya sebagai guru untuk bisa maju di masa yang akan datang. Akhirnya saya memutuskan untuk berkuliah disebuah universitas bidang Pendidikan yang biayanya terjangkau (paling tidak untuk kantong saya) dan kualitas pendidikannya baguslah, banyak calon guru yang berkuliah di sana dan cukup berhasil di sekolahnya masing-masing.
Waktu yang ditunggu-tunggupun tiba, saya kembali menjadi mahasiswa tahun pertama, kalau ke pom bensin biasanya disebut “Kembali ke 0 ya mbak/mas” sebuah dunia baru yang sebenarnya membuat saya merasa nervous namun sekaligus exited. Di awal tujuan saya hanyalah kuliah, buat tugas dan fokus dengan ujian, tidak ada sedikitpun keinginan untuk mencari teman atau sejenisnya. Namun ternyata jalan tak semulus itu. Bukan, bukan karena saya tidak bisa mengejar kuliahnya, namun malah karena saya tiba-tiba terpilih menjadi ketua kelas. Sempat menolak permintaa itu, namun dengan embel-embel “mahasiswa paling tua” saya terpilih untuk memimpin. Semester pertama berjalan dengan baik di awal dan agak sedikit bergerigi di akhir.
Tipe kepemimpinan saya di manapun adalah disiplin dan sepenuh hati. Saya tidak menolerir apalagi seorang mahasiswa yang umurnya sudah dewasa namun masih harus disuapi segala-galanya. Semuaa harus tepat waktu, saya tidak suka dosen yang tidak disiplin dan tidak suka mahasiswa yang juga menyusahkan satu kelas. Maka saya menjalankan semua pekerjaan itu dengan penuh emosional, ternyata saya tidak seperti yang saya sendiri bayangkan ketika memimpin. Saya orang yang susah untuk bersabar dan mudah sekali terganggu dengan kelakuan anak-anak yang umurnya jauh di bawah saya. Tanpa disadari ternyata saya telah bertransformasi menjadi om-om yang pikirannya terlalu matang bagi suasana kampus yang santai.
Menjadi ketua kelas memaksa saya untuk berteman dengan smua orang. Terpaksa saya harus Kembali belajar komunikasi yang baik dengan anak 18an dan 20an awal yang bagi saya selera humor dan kehidupannya sudah jauh berbeda. Menjadi ketua kelas membuat saya merasa harus mengenal dunia mereka secara psikologis. Saya tidak punya banyak masalah dalam pemahaman budaya popular saat ini, karena saya termasuk update lah dengan itu semua. Namun yang susah adalah memahami tingkat keseriusan mereka untuk kuliah, kadang saya harus menggaruk-garuk kepala melihat tingkah mereka yang meremehkan kuliah.
Tapi saya selalu mencoba mengingatkan diri saya bahwa “dulu lo juga begitu kali bot!” kalimat ini terus saya ulang-ulang agar tetap punya semangat kuliah dan menjalankan tugas sebagai ketua kelas. Tugas saya yang banyak sebagai ketua kelas plus masih harus ditambah tugas kuliah, persiapan ujian dan lain-lain membuat saya kerepotan dan ternya berdampak pada attitude saya di kelas. Saya jadi mudah kesal dan mood pun terasa bergoyang-goyang, sering saya harus sedikit marah-marah di kelas karena kedisiplinan beberapa mahasiswa dan juga dosen yang sangat rendah. Saya merasa kuliah tidak fun lagi. Iya benar saya jadi banyak memilki teman dekat dan baik karena mejadi ketua kelas namun tetap saja itu menghirup semua sari-sari kebahagian saya dalam belajar.
Sampai satu hari di akhir semester satu saya memilih untuk mundur dari ketua kelas. Saya merasa tidak sanggup lagi untuk menjalankan tugas mulia ini. Jadilah saya mengumumkan turunnya saya dari kursi ketua kelas dan berharap sampai lulus tidak akan mendapatkan posisi itu lagi. Menjadi ketua kelas di umur 30an untuk anak yang masih belasan dan 20an ternyata tidak mudah untuk dilakukan. Namun saya perlu bangga dan bahagia, satu karena saya bisa membutikan saya mampu kuliah sambil jadi ketua kelas dan tentunya lebih dapat mengenal banyak teman baru yang membuat kuliah menjadi tidak bosan. Sungguh kuliah lagi adalah pengalaman yang campur aduk dan lebih banyak bahagia tentunya 😊